Manusia
merupakan suatu spesies yang selalu mendamba makna dan keberartian dalam
hidupnya. Maka dari itu manusia selalu mempunyai ekspektasi tinggi atas dirinya
sendiri. Mereka tidak akan pernah puas dengan hidup yang biasa-biasa saja. Hal
ini diperkuat dengan dimilikinya potensi bawaan yang dari lahir dilimpahkan
atas manusia dari Tuhannya. Namun potensi bawaan yang dimiliki pada akhirnya
akan menjadi hal yang tidak ada artinya jika hal tersebut hanya dibiarkan tanpa
adanya suatu proses yang memperkuat dan mengembangkan potensi tersebut.
Pendidikan
pada akhirnya dipilih sebagai solusi tepat untuk memecahkan masalah diatas.
Dalam buku Filsafat Pendidikan karya Teguh Wangsa Gandhi HW menyebutkan bahwa
pendidikan berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang ataupun
kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
Hal ini berarti pendidikan selain sebagai hak asasi juga merupakan suatu
proses. Dalam hal ini proses dalam pendidikan mencakup hubungan antar manusia
dengan manusia, lingkungan dan alam semesta sebagai langkah penyesuaian diri
dalam hidup bermasyarakat.
Kemudian
mucullah teori pendidikan humanis yang menjadikan pendidikan sebagai sarana
untuk memanusiakan manusia demi menuju insan kamil (manusia seutuhnya). hal ini
dirasa penting karena manusia terkadang dapat melupakan nilai-nilai kemanusiaan
itu sendiri.
Dewasa
ini yang terjadi adalah sekolah dijadikan sebagai ajang industrialisasi
manusia. Para siswa dicetak untuk menjadi manusia siap kerja, dijadikan
layaknya robot yang ahli matematika,kimia dan sebagainya. Tidak peduli sebesar
apapun dekadensi moral telah menjalar ke dalam jiwa-jiwa peserta didik. Lebih
ironis lagi dengan munculnya sistem Ujian Nasional yang menuai pro dan kontra.
Salah satunya karena ujian nasional
dianggap sebagai ajang penumbuhan sifat kecurangan dan ketidakjujuran. Lebih
dari itu, dilihat dari objek yang diujikan, hanya mencakup mata pelajaran yang
sama sekali tidak ada hubungannya dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan
yang didambakan dari awal adanya pendidikan.
Ideologi pendidikan
Memperbincangkan
Ideologi pendidikan nasional, tentu tidak bisa lepas dari diskursus tentang
Ideologi negara Indonesia, karena ideologi negara adalah ideologi yang
melandasi segala kebajikan dalam kehidupan bernegara.Sebagaimana kita ketahui
ideologi yang dipakai negara Indonesia adalah Pancasila. Konsekuensi logisnya,
segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berlandaskan pada
pancasila, sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Kebijakan-kebijakan
dalam masalah ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, juga pendidikan misalnya,
harus selaras dengan nilai-nilai luhur dan semangat Pancasila. William
O’Neill memetakan ideologi pendidikan dalam dua paradigma utama yang berisi
pendekatan konservatif dan liberal. Pendekatan konservatif melihat adanya
ketidasejajaran dalam masyarakat. Namun, hal itu dianggap wajar dan merupakan
hukum alamiah yang tidak bisa dihindari karena sudah digariskan oleh Tuhan.
Pendekatan ini dibagi menjadi tiga, yaitu fundamentalisme pendidikan,
intelektualisme pendidikan, dan konservatisme pendidikan. Sedangkan pada
liberalisme pendidikan lebih menekankan tujuan pendidikan jangka panjang. (ono
alirane ra)
Dengan
tekanan itu, dimaksudkan untuk melestarikan dan memperbaiki suatu tatanan sosial
yang ada, dengan cara mengajar setiap anak sebagaimana cara menangani berbagai
masalah kehidupannya sendiri secara efektif. Sejajar dengan hal itu, masyarakt
juga harus mempunyai idiologikeberpihakan terhadap kaum marjinal yang telah
menjadi korban modernisasi kehidupan. Teori idiologiO’Neill ini bersumber dari
etika sosial (moral ataupun politik), kemudian menjadi sistem nilai yang
mengarah pada pendidikan. Pada dasarnya, kebaikan tertinggi ada dalam
kebahagiaan personal dan kebahagiaan semacam itu merupakan persoalan perwujudan
diri seorang manusia yang secara potensial adalah dirinya sendiri.
Pendidikan Kritis
Seseorang
yang sadar denganharga dirinya akan terlepas dari berbagai kekuasaan yang
menindas dirinya. Kekuasaan-kekuasaan yang menindas dapat lahir dari
eksploitasi ekonomi, politik maupun sosial. Orang-orang yang memilih keluar
dari ketertindasan akan termarginalisasi secara alamiah, tetapi sebenarnya
pilihan itulah yang akan membawa kepada kebahagiaan yang seutuhnya. Proses
penyadaran tersebut hanya dapat diperoleh melalui proses pendidikan yang
membebaskan.
Pendidikan
kritis lahir dan berkembang oleh pemikiran yang kritis. Mereka melihat secara
kritis berbagai jenis kekuasaan yang mengungkung perkembangan pribadi mereka.
Proses pendidikan tersebut mempermasalahkan dan mencari sebab-sebab yang telah
merampas kemerdekaan seseorang serta mencarikan jalan untuk keluar dari masalah
tersebut.
Namun
dewasa ini, tampaknya pendidikan yang diajarkan bukanlah pendidikan yang
kritis, melainkan pendidikan dogmatis.Kesalahan dogmatis bertolak dari sempitnya
pemikiran pendidik. Pendidik seharusnya mampu berfikir secara holistik dalam
memahami peserta didik, sehingga merekatidak merasa canggung dalam melaksanakan
pendidikan
Karena
sebenarnya parameter profesionalitas guru bukan ketika ia dapat mengabdi
seutuhnya kepada birokrasi. Namun lebih ketika ia bisa mengerti keadaan peserta
didik. Mampu berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan, berbagi keresahan dan
harapan. Tetapi fakta yang ada berkata lain, tidak sedikit pendidik dalam
sebuah institusi bersifat memaksa dalam mendidik.
Di
IAIN Walisongo, khususnya Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, banyak
aturan-aturan yang secara tidak langsungmerampas kebebasan peserta didiknya.Contoh
saja ketika dosen mewajibkan mahasiswanya untuk tidak memakai pakaian yang
berbahanjin, atau saat mengharamkan
mahasiswinya memakai celana. Mereka berdalih bahwa calon pendidik harus mampu
mencerminkan sifat seorang pendidik. Lantas, apakah sifat-sifat seorang pendidik
bisa dituangkan dalam rok ? rasanya tidak.
Sampel
diatas merupakan masalah yang patut untuk diperhatikan. Disinilah legitimasi
pendidikan kritis yang tidak hanya membatasi masalah pendidikan di ruang kelas
yang terbatas, tetapi melihat masalah pendidikan dalam konteks yang lebih
kompleks.
Mudah-mudahan
pembaca dapat bergabung dalam gerakan pembaruan pendidikan di tanah air.