RSS
Facebook
Twitter

Minggu, 13 September 2015



Manusia merupakan suatu spesies yang selalu mendamba makna dan keberartian dalam hidupnya. Maka dari itu manusia selalu mempunyai ekspektasi tinggi atas dirinya sendiri. Mereka tidak akan pernah puas dengan hidup yang biasa-biasa saja. Hal ini diperkuat dengan dimilikinya potensi bawaan yang dari lahir dilimpahkan atas manusia dari Tuhannya. Namun potensi bawaan yang dimiliki pada akhirnya akan menjadi hal yang tidak ada artinya jika hal tersebut hanya dibiarkan tanpa adanya suatu proses yang memperkuat dan mengembangkan potensi tersebut.
Pendidikan pada akhirnya dipilih sebagai solusi tepat untuk memecahkan masalah diatas. Dalam buku Filsafat Pendidikan karya Teguh Wangsa Gandhi HW menyebutkan bahwa pendidikan berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang ataupun kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Hal ini berarti pendidikan selain sebagai hak asasi juga merupakan suatu proses. Dalam hal ini proses dalam pendidikan mencakup hubungan antar manusia dengan manusia, lingkungan dan alam semesta sebagai langkah penyesuaian diri dalam hidup bermasyarakat.
Kemudian mucullah teori pendidikan humanis yang menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk memanusiakan manusia demi menuju insan kamil (manusia seutuhnya). hal ini dirasa penting karena manusia terkadang dapat melupakan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Dewasa ini yang terjadi adalah sekolah dijadikan sebagai ajang industrialisasi manusia. Para siswa dicetak untuk menjadi manusia siap kerja, dijadikan layaknya robot yang ahli matematika,kimia dan sebagainya. Tidak peduli sebesar apapun dekadensi moral telah menjalar ke dalam jiwa-jiwa peserta didik. Lebih ironis lagi dengan munculnya sistem Ujian Nasional yang menuai pro dan kontra. Salah satunya  karena ujian nasional dianggap sebagai ajang penumbuhan sifat kecurangan dan ketidakjujuran. Lebih dari itu, dilihat dari objek yang diujikan, hanya mencakup mata pelajaran yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan yang didambakan dari awal adanya pendidikan.
Ideologi pendidikan
Memperbincangkan Ideologi pendidikan nasional, tentu tidak bisa lepas dari diskursus tentang Ideologi negara Indonesia, karena ideologi negara adalah ideologi yang melandasi segala kebajikan dalam kehidupan bernegara.Sebagaimana kita ketahui ideologi yang dipakai negara Indonesia adalah Pancasila. Konsekuensi logisnya, segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berlandaskan pada pancasila, sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Kebijakan-kebijakan dalam masalah ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, juga pendidikan misalnya, harus selaras dengan nilai-nilai luhur dan semangat Pancasila. William O’Neill memetakan ideologi pendidikan dalam dua paradigma utama yang berisi pendekatan konservatif dan liberal. Pendekatan konservatif melihat adanya ketidasejajaran dalam masyarakat. Namun, hal itu dianggap wajar dan merupakan hukum alamiah yang tidak bisa dihindari karena sudah digariskan oleh Tuhan. Pendekatan ini dibagi menjadi tiga, yaitu fundamentalisme pendidikan, intelektualisme pendidikan, dan konservatisme pendidikan. Sedangkan pada liberalisme pendidikan lebih menekankan tujuan pendidikan jangka panjang. (ono alirane ra)
Dengan tekanan itu, dimaksudkan untuk melestarikan dan memperbaiki suatu tatanan sosial yang ada, dengan cara mengajar setiap anak sebagaimana cara menangani berbagai masalah kehidupannya sendiri secara efektif. Sejajar dengan hal itu, masyarakt juga harus mempunyai idiologikeberpihakan terhadap kaum marjinal yang telah menjadi korban modernisasi kehidupan. Teori idiologiO’Neill ini bersumber dari etika sosial (moral ataupun politik), kemudian menjadi sistem nilai yang mengarah pada pendidikan. Pada dasarnya, kebaikan tertinggi ada dalam kebahagiaan personal dan kebahagiaan semacam itu merupakan persoalan perwujudan diri seorang manusia yang secara potensial adalah dirinya sendiri.
Pendidikan Kritis
Seseorang yang sadar denganharga dirinya akan terlepas dari berbagai kekuasaan yang menindas dirinya. Kekuasaan-kekuasaan yang menindas dapat lahir dari eksploitasi ekonomi, politik maupun sosial. Orang-orang yang memilih keluar dari ketertindasan akan termarginalisasi secara alamiah, tetapi sebenarnya pilihan itulah yang akan membawa kepada kebahagiaan yang seutuhnya. Proses penyadaran tersebut hanya dapat diperoleh melalui proses pendidikan yang membebaskan.
Pendidikan kritis lahir dan berkembang oleh pemikiran yang kritis. Mereka melihat secara kritis berbagai jenis kekuasaan yang mengungkung perkembangan pribadi mereka. Proses pendidikan tersebut mempermasalahkan dan mencari sebab-sebab yang telah merampas kemerdekaan seseorang serta mencarikan jalan untuk keluar dari masalah tersebut.
Namun dewasa ini, tampaknya pendidikan yang diajarkan bukanlah pendidikan yang kritis, melainkan pendidikan dogmatis.Kesalahan dogmatis bertolak dari sempitnya pemikiran pendidik. Pendidik seharusnya mampu berfikir secara holistik dalam memahami peserta didik, sehingga merekatidak merasa canggung dalam melaksanakan pendidikan
Karena sebenarnya parameter profesionalitas guru bukan ketika ia dapat mengabdi seutuhnya kepada birokrasi. Namun lebih ketika ia bisa mengerti keadaan peserta didik. Mampu berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan, berbagi keresahan dan harapan. Tetapi fakta yang ada berkata lain, tidak sedikit pendidik dalam sebuah institusi bersifat memaksa dalam mendidik.
Di IAIN Walisongo, khususnya Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, banyak aturan-aturan yang secara tidak langsungmerampas kebebasan peserta didiknya.Contoh saja ketika dosen mewajibkan mahasiswanya untuk tidak memakai pakaian yang berbahanjin, atau saat mengharamkan mahasiswinya memakai celana. Mereka berdalih bahwa calon pendidik harus mampu mencerminkan sifat seorang pendidik. Lantas, apakah sifat-sifat seorang pendidik bisa dituangkan dalam rok ? rasanya tidak.
Sampel diatas merupakan masalah yang patut untuk diperhatikan. Disinilah legitimasi pendidikan kritis yang tidak hanya membatasi masalah pendidikan di ruang kelas yang terbatas, tetapi melihat masalah pendidikan dalam konteks yang lebih kompleks.
Mudah-mudahan pembaca dapat bergabung dalam gerakan pembaruan pendidikan di tanah air.


Hasyim  Asy’ari adalah satu-satunya orang Indonesia yang mendapatkan tittle Hadratus Syeikh atau guru dari para syeikh. Maka setidaknya sebagai orang Indonesia kita bisa berbangga, bahwa Ulama yang mendunia bukan hanya berasal dari Timur Tengah namun juga dari Asia Tenggara yakni dari Indonesia.
Pada saat itu sedang berkembang pemikiran aliran Salafi dan Wahabi oleh Muhammad bin Abdul wahab. Lalu muncul ketidaksepahaman Hasyim Asy’ari terhadap pemikiran mereka kemudian Beliau menginisiatif untuk membuat sebuah buku yang digunakan sebagai dasar untuk pemikiran baru berlandas Ahlussunnah wal Jam’ah. Didalam bukunya terdapat pembahasan mengenai Sunnah dan Bid’ah yang sampai saat ini masih terjadi perdebatan.
Sunnah vs Bid’ah
Sunnah adalah jalan , meskipun tidak dikehendaki dan diridhoi. Secara ‘urf,  Sunnah adalah kebiasaan oleh para tokoh, yakni Nabi dan para Sahabat, serta Wali-wali. Membincang (Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) adalah masyarakat yang mengikuti Madzhab 4 yakni Imam Maliki, Syafi’i, hanafi, dan Hambali dalam bidang Muammalah dang Imam Maturidi dan Abu Hasan Al Asy’ari dalam bidang Teologi dan Al-ghozali dalam bidang tasawuf.  Hal ini dianggap sudah cukup untuk kondisi masyarakat masa itu. Namun seiring perkembangan zaman dikembangkan menjadi empat bidang yaitu Tawazun, tasamuh, ta’addul, tawassuth.
Sedangkan Bid’ah secara Syar’iah yaitu melakukan suatu pembaharuan yang belum pernah ada. Namun tidak semua bid’ah adalah Dholalah (buruk). Islam Nusantara berkembang dengan tingkat religiuitas yang tinggi dengan melakukan amalan-amalan yang termasuk dalam pembaruan dan penambahan amal, semisal istighosah, tahlil, diba’an dll. Hukum yang mengatur kebolehan atau dilarangnya hal-hal tersebut didasarkan karena ketiadaan hukum larangan untuk hal-hal tersebut. Maka hukumnya adalah boleh. Justru yang dilarang adalah mudah menjustifikasi kekufuran orang lain dengan sangat mudah.
Islam Nusantara
Agama itu selalu berdialektika dengan perkembangannya. Karena turunnya wahyu pada suatu masa  disesuaikan dengan keadaan masyarakat pada saat tersebut. Maka jika keadaan kita selalu berkembang, harus ada pembaharuan hukum yang menyesuaikan kondisi masyarakat.   Hasyim Asy’ari muncul dengan pembelaan tradisi lokal yang sudah kuat di Indonesia.      
 Beliau adalah salah seorang yang sangat menentang adanya pemikiran Islam garis keras yang sangat menjunjung tinggi ‘Arabisasi’ dan pemunculan sebuah negara Islam atau khilafah Islamiyah dikarenakan kita hidup dalam kondisi yang berbeda dengan tipologi masyarakat yang berbeda juga. Cukup menguatkan tradisi lokal maka Islam akan indah pada masyarakatnya. 
Taqlid adalah salah satu pembahasan yang dikemukakan Hasyim Al-asy’ari sebagai suatu kewajiban bagi orang yang tidak bisa menggali hukum sendiri. Hal ini mungkin terasa agak aneh di telinga. Namun sangat masuk akal, jika kita melihat bagaimana kita mengikuti madzhab-madzhab yang tidak bisa kita kupas secara keseluruhan. Dan hal yang bisa kita lakukan adalah mengikuti dengan keyakinan kebenaran dari madzhab yang kita ikuti.

Tanggung Jawab dalam Pendidikan Islam


          Dalam islam konsep tanggung jawab melekat pada konsep amanah. Amanah adalah suatu sistem nilai yang melekat pada diri manusia karena begitu kita hidup dan mengenyam kehidupan yang merupakan pemberian Tuhan, kita harus mempertanggungjawabkan kepada-Nya, karena kehidupan manusia berbeda dengan kehidupan makhluk lainnya.[1]
            Tanggung jawab dalam pendidikan islam dibebankan pada orang tua atau keluarga, mayarakat, negara dan diri sendiri sebagai subjek didik.
A.    Orang Tua atau Keluarga
1.      Anak sebagai Amanah
Selain sebagai dambaan orang tua anak juga sebagai amanah dari tuhan. Orang tua diminta pertanggung jawabannya, apakah anak-anaknya mampu mengemban peran, tugas dan tujuan hidupnya. Dengan demikian kita tidak boleh terlalu bangga dengan anak-anak kita karena kita sedang dalam ujian, yang lulus tidaknya masih dipertanyakan. Kiranya sikap yang paling utama adalah bersyukur. Untuk mewujudkan rasa syukur hendaknya dengan berusaha mengasuh, memelihara dan membimbingnya dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Nabi bersabda :
2.      Keluarga yang Kondusif bagi Pendidikan
Keluarga berawal dari suami istri, kemudian lahirlah seorang anak. Keluarga merupakan tempat berinteraksi yang pertama bagi anak yang merupakan awal proses pembentukan kepribadian anak melalui internalisasi nilai-nilai yang terpantul dari emosi, minat, sikap dan perilaku orang tuanya.
Pedoman keluarga yang kondusif bagi pendidikan:
a.       Tujuan berumah tangga untuk mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kedamaian dengan dilandasi saling cinta dan kasih sayang.[2]
b.      Memilih pasangan yang ideal dengan mengutamakan persyaratan akhlak dan agamanya.[3]
c.       Menyadari dan memenuhi hak serta tanggung jawab masing-masing.[4]

3.      Fungsi Keluarga dalam Pendidikan
Pendidikan dalam keluarga merupakan pembentukkan landasan kepribadian anak.[5]
Fungsi utama keluarga:
a.       Menanamkan iman dan tauid
b.      menumbuhkan sikap hormat dan bakti pada orang tua
c.       menumbuhkan semangat bekerja dengan penuh kejujuran
d.      mendorong anak untuk taat beribadah (terutama sholat)
e.       menanamkan cinta kebenaran (ma’ruf) dan menjauhi yang buruk (munkar)
f.       menanamkan jiwa sabar dalam menghadapi cobaan
g.      menumbuhkan sikap rendah hati, tidak angkuh dan sombong dalam bergaul
h.      menanamkan sikap hidup sederhana
Fungsi tersebut akan berhasil bila kita memberikan cntoh kepada anak-anak, karena sifat anak-anak yang sukanya meniru orang tuanya. Dengan suasana rumah tangga yang nyaman, tentram dan damai maka anak akan kondusif untuk belajar.
B.     Masyarakat
Masyarakat adalah suatu faktor yang pokok mempengaruhi pendidikan, selain sebagai arena tempat berkisarnya pendidikan. Selain itu masyarakat juga menjadi tempat mengembangkan interaksi anak setelah berinteraksi dengan keluarga. Karena pada dasarnya manusia adalah mkhluk sosial yang saling membutuhkan. Di masyarakatlah ana-anak mulai mengembangkan sosialisasinya.[6]

C.    Pemerintah
Selain menjadi aparatur negara, pemerintah juga menjadi penanggung jawab pendidikan. Pemerintah dalam membangun negaranya harus memiliki tunas-tunas didik yang baik, jadi pemerintah harus memiliki program pendidikan secara umum ataupun secara islam dengan baik untuk membangun dan merubah negaranya menjadi lebih baik.[7]

D.    Diri Sendiri
Selain orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam tanggung jawab pendidikan anak juga harus memiliki rasa tanggung jawab kepada dirinya sendiri. Jika dari orang tua, masyarakat dan pemerintah telah mendukung dan memberikan sarana yang cukup namun dari diri kita sendiri tidak memiliki rasa tanggung jawab dalam mencari ilmu atau dalam pendidikan maka semuanya akan sia-sia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab pendidikan akan berjalan apabila orang tua (keluarga), masyarakat, pemerintah dan dari dalam diri sendiri berjalan dengan imbang.[8]









DAFTAR PUSTAKA


  Achmadi. 1992. Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan. Aditya Media : Yogyakarta.hlm 89
  Surat Ar-rum: 21
  Sunan Ibn. Majah. Juz 1. hlm. 572
  Sahih Bukhari. Juz 1. hlm 160
  Achmadi. 1992. Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan. Aditya Media: Yogyakarta.hlm 93
  Uhbiyati, nur. 2013. Dasar-dasar ilmu pendidikan islam. PT.Pustaka Rizki Putra: Semarang.hlm 243
  Uhbiyati, nur. 2013. Dasar-dasar ilmu pendidikan islam. PT.Pustaka Rizki Putra: Semarang. hlm240
  Uhbiyati, nur. 2013. Dasar-dasar ilmu pendidikan islam. PT.Pustaka Rizki Putra: Semarang. hlm241





[1] Achmadi. 1992. Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan. Aditya Media : Yogyakarta.hlm 89
[2]Surat Ar-rum: 21
[3]Sunan Ibn. Majah. Juz 1. Hlm. 572
[4]Sahih Bukhari. Juz 1. Hlm 160
[5] Achmadi. 1992. Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan. Aditya Media: Yogyakarta.hlm 93
[6] Uhbiyati, nur. 2013. Dasar-dasar ilmu pendidikan islam. PT.Pustaka Rizki Putra: Semarang.hlm243
[7] Uhbiyati, nur. 2013. Dasar-dasar ilmu pendidikan islam. PT.Pustaka Rizki Putra: Semarang. hlm240
[8] Uhbiyati, nur. 2013. Dasar-dasar ilmu pendidikan islam. PT.Pustaka Rizki Putra: Semarang. hlm241

FUNGSI HADIS

I.                   Pendahuluan
Hadis menurut etimologi berarti baru, sedangkan menurut terminologi para ulama mendefinisikan dengan rumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Namun dari semua itu memiliki inti yang sama  yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya, sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
Mayoritas ulama dari kalangan umat islam, baik yang tergolong ulama salaf maupun ulama khalaf dari masa sahabat hingga sekarang ini, telah sepakat bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-qur’an. Al-qur’an dan hadis merupakan sumber hukum syari’at yang tetap, artinya orang Islam tidak mungkin memahami syari’at Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber hukum tersebut.
Dari penjelasan diatas, hadis memiliki beberapa fungsi dalam ajaran Islam.

II.                Rumusan Masalah
1.      Apa saja fungsi hadits dalam ajaran islam?
2.       Bagaimana pendapat para ulama’ tentang fungsi hadits?
III.             Pembahasan
A.    Fungsi Hadis dalam Ajaran Islam
Al-qur’an dan hadis digunakan untuk pedoman hidup, sumber hukum, dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama, banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu, kehadiran hadis sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-qur’an tersebut.
Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas Al-qur’an itu bermacam-macam. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan diuraikan satu persatu.
1.    Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-qur’an. Artinya bahwa sunnah dalam hal ini lebih berfungsi sebagai pengokoh dan memperkuat isi kandungan Al-qur’an yang telah ada.[1]
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh hadits yang di riwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi :
فإذا رأيتم الهلال فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا ( رواه مسلم )
Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah. (HR. Muslim)
Hadits ini mentaqrir (menetapkan) ayat al-Quran Surah. Al-Baqoroh : 185 yang berbunyi :
 فَمَن شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه
Maka barangsiapa yang mempersaksikan  pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...
Karena ayat al-quran dan hadist diatas mempunyai makna yang sama maka hadist tersebut berfungsi sebagai bayan taqrir, mempertegas apa yang telah disebut dalam al-quran.[2]
2.    Bayan al-Tafsir
Bayan al-tafsir adalah bahwa hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlaq, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Diantara contoh tentang ayat-ayat al-qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan sholat. Banyak sekali ayat-ayat terkait perintah kewajiban sholat dalam al-Quran. Salah satunya sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Baqoroh ayat : 43
واقيموا الصلاة واتوا الزكاة واركعوا مع الرا كعين
dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.
Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban sholat tetapi tidak dirinci atau dijelaskan bagaimana operasionalnya, berapa rokaatnya, serta apa yang harus dibaca dalam setiap gerakan sholat. Kemudian Rasulullah memperagakan bagaimana mendirikan sholat yang baik dan benar. Hingga beliau bersabda,
صلوا كما رايتموني اصلي(رواه البخاري)
Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR.Bukhori.)
Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak adalah seperti sabda rasullullah,
 أتي رسول الله صلى الله عليه و سلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف
Rasullullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.
Hadits ini men-taqyid  QS.Almaidah : 58 yang berbunyi :
والسارق و السارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالامن الله و الله عزيز حكيم
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan, dan sebagai siksaan dari Allah sesungguhnya Allah maha Mulia dan Maha Bijaksana.
Dalam ayat diatas belum ditentukan batasan untuk memotong tangannya. Bisa jadi dipotong sampai pergelangan tangan saja, atau sampai siku-siku, atau bahkan dipotong hingga pangkal lengan karena semuanya itu termasuk dalam kategori tangan.  Akan tetapi, dari hadist nabi tersebut, kita dapat mengetahui ketetapan hukumnya secara pasti yaitu memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.
Sedangkan contoh hadits yang berfungsi untuk mentakhshish keumuman ayat-ayat al-Quran, adalah :
قال النبي صلى الله عليه و سلم لا يرث المسلم الكافر و لا الكافر المسلم ( رواه البخارى ) Nabi SAW bersabda : “tidaklah seorang muslim mewarisi dari orang kafir , begitu juga kafir tidak mewarisi dari orang muslim.
Hadits tersebut mentakhshish keumuman ayat :
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين ( النساء : 11 )
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian anak perempuan. (QS. An- Nisa : 11)[3]
3.      Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-qur’an atau dalam Al-qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Hadis-hadis Rasul SAW yang termasuk kedalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, hadis tentang zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.
Seperti contoh berikut:
أن الرسول الله صلى الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين  (رواه المسلم )
Bahwasahnya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitroh kepada umat islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuam muslim.
(HR. Muslim).[4]
4.    Bayan an-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa, mempunyai banyak arti. Bisa berarti al-Ibthal (membatalkan/menghapuskan), atau al-izalah (menghilangkan), atau an-naql (penukilan/penyalinan), atau at-taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipegang dari ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena ada dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan Syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).
Intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh.
Contoh hadist yang berfungsi sebagai bayan al-naskh :
لا وصية لوارث
Tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Hadist ini menaskh firman Allah :
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين و الأقربين بالمعروف حقا على المتقين (البقرة : 180)
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqoroh : 180).[5]
B.     Perbedaan Pendapat Para Ulama tentang Fungsi Hadits
Sehubungan dengan fungsi hadist sebagai bayan tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam merincinya lebih lanjut.
1.      Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil, bayan Isbat, dan bayan tasyri’.
2.      Menurut Imam Syafi’i, yaitu meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin, bayan tasyri’, bayan nasakh, bayan tafshil dan bayan isyaroh
3.      Menurut Ahman bin Hanbal yaitu meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan takhsis.
Meskipun para ulama menggunakan istilah yang berbeda, namun pada dasarnyayang mereka maksudkan sama saja. Secara umum fungsinya adalah menguatkan, merinci, menjelaskan, membuat aturan baru dan merevisi aturan al-quran.[6]

IV.             KESIMPULAN
Fungsi hadits sebagai penjelas(bayan) terhadap Al-qur’an mempunyai empat(4) macam, yaitu:
1.      Bayan Al-Taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al-qur’an
2.      Bayan Al-Tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat al-qur’an yang masih bersifat umum.
3.      Bayan At-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Quran , atau dalam al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja
4.      Bayan At-Nasakh yaitu penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang datang kemudian
Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam:
Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil, bayan Isbat, dan bayan tasyri’. Menurut Imam Syafi’i, yaitu meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin, bayan tasyri’, bayan nasakh, bayan tafshil dan bayan isyaroh. Menurut Ahman bin Hanbal yaitu meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan takhsis.


IV.     DAFTAR PUSTAKA
Ulumul Hadits
Syihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur’an, Mizan Pustaka, 2002
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an, PT LKiS Pelangi Aksara, 2002


[7][1] M. Quraisy Syihab,  Membumikan Al-Qur’an,(Jakarta:  Mizan Pustaka, 2002). Hal.192




[1] Mohammad Nor Ichwan. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Semarang : Rasail, 2013), hlm 75-76
[2] http://sri-wiji-lestari.blogspot.com/2013/05/fungsi-hadits-dalam-ajaran-islam.html (diakses pada hari jum’at, 17 Oktober 2014 pukul 15.50)
[3] http://sri-wiji-lestari.blogspot.com/2013/05/fungsi-hadits-dalam-ajaran-islam.html (Diakses pada hari jum’at, 17 Oktober 2014 pukul 16.00)
[4] Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993). Hlm 63-64
[5] Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993). Hlm 65-66
[6] Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadist, Yogyakarta: Grha Guru, 2008 hlm.17

  • Blogger news

  • Blogroll

  • About