FATWA SAHABAT SEBAGAI METODE ISTINBAT
HUKUM ISLAM
Makalah
Untuk
Memenuhi Tugas : Ushul Fiqih
Dosen
Pengampu : Amin Farih
Oleh
:
Nayiroh (133411058)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam kitab Mafaahim Islamiyah diterangkan bahwa fatwa secara literal bermakna
jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-undangan yang sulit.
Sedangkan menurut syariat bermakna penjelasan hukum syariat atas suatu
permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil
yang berasal dari al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad. Sedangkan orang yang
menyampaikan fatwa disebut Al-Muftiy.
Fatwa mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam agama Islam. Fatwa dipandang sebagaialternatif di tengah kebekuan
dalam perkembangan hukum Islam dan sebagai alternatif untuk menjawab
perkembangan zaman yang tidak tercover dengan
nash-nash keagamaan. Karena nash-nash keagamaan telah berhenti secara
kuantitasnya, akan tetapi secara faktual permasalah dan kasus semakin
berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Namun demikian, fatwa yang
dibuat tidak boleh bertentangan dengan esensi dari hukum yang telah ada dalam
nash-nash tersebut.[1]
Sedangkan istinbat secara istilah
sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad bin Ali al-Fayumi yaitu upaya menarik
hukum dari al-Qur’an dan sunnah dengan jalan ijtihad[2]Hal
itulah yang menyebabkan banyak dari sahabat yeng mengeluarkan fatwa untuk
mencari pemecahan permasalahan yang tidak terdapati dalam nash-nash. Hal ini
diperkuat lagi setelah meninggalnya Rasulullah SAW, tidak terkecuali para
khulafa’ ar-rasyidin yang kedudukannya sebagai pemimpin pengganti Rasulullah.
B. RumusanMasalah
1. Apasajahasilijtihadkhulafaurrasyidin?
2. Bagaimana perbandinganijtihadjama’idanijtihadfardi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
IjtihadKhulafa’
ar- rasyidin
Setelah
Nabi Muhammad meninggal dunia, berakhirlah periode turunnya wahyu dan muncul
periode sahabat. Namun pada periode sahabat, keadaan sudah berbeda dengan masa
sebelumnya, terutama karena melebarnya wilayah dunia Islam, makapermasalahanpun
semakin kompleks.
Para
sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin harus menggerakkan pemikirannya untuk
menetapkan hukum yang belum dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunnah secara
terinci. Maka dari itu muncul banyak ijtihad dari Khulafa’ al-rasyidin untuk
menentukan hukum-hukum baru yang tidak bertentangan dengan dua sumber hukum
tersebut. Sebuah hadis dari Muaz bin Jabal berikut juga mendukung dilaksanakannya
ijtihad
ان رسول الله
صلعم لما ارادان يبعثه الي اليمين قال له كيف تقضي اذاعرض لك قضاء. قال أقضي بكتاب
الله فأن لم أجد فبسنة رسول الله فأنلم اجد أجتهد رأيي ولاألوا. فضرب رسول الله
علي صدره وقال الحمد لله الذي وقف رسو ل الله
“Ketika hendak
menuju negeri Yaman berkata kepadanya. Bagaimanakah kamu memberi keputusan
apabila kepadamu dimintakan suatu putusan. Muaz menjawab : “saya akan memutuskan berdasarkan kitab
Allah , jika saya tidak menemukannya maka saya akan memutuskan berdasarkan
sunnah Rasul, kemudian jika saya tidak menemukannya maka saya akan berijtihad
dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasullah menepuk-nepuk dadanya dan berkata
“ Segala puji adalah bagi Allah yang telah memberikan Taufiq kepada utusan
Rasulullah kepada apa yang diridhai oleh Rasulullah.”:
Berikut beberapa ijtihad pada masa khulafa’
al-rasyidin.
1.
Ijtihad Abu bakar as-shidiq
Salah satu ijtihad yang dilakukan Abu bakar adalah memerangi
orang yang tidak mau bayar zakat namun hal ini sempat ditegur oleh Umar bin
Khathab. Namun abu bakar bersikeras karena hal tersebut sebab hal itu telah ada dalam hadis nabi dan beliau beranggapan jika Ia
berkompromi dengan hal tersebut maka akan ada peluang untung kompromi dengan
permassalahan yang lain.[3]
2.
Ijtihad Umar bin Khattab
a. Tidak
diberikannya zakat pada muallaf
Menurutnya pemberian zakat kepada muallaf tersebut
pada dasarnya ada tujuan yang terselinp dibelakangnya, yaitu agar merek berubah
dan masuk Islam dan untuk menolak kemungkinan datangnya kejahatan dari mereka.
Oleh sebab itulah diwaktu kondisi umat Islam telah kuat dan stabilitas
pemerintahan sudah semakin mantap Umar berpendapat bahwa pemberian zakat
tersebut sudah tidak valid lagi.
b. Berkaitan
dengan tanah rampasan perang
Pada saat terjadinya perang Badar, kaum muslimin
mengalami kemenangan. Harta rampasan perang sangat banyak. Maka timbul
kebingungan untuk membaginya. Lalu setelah terjadi kebingungan turunlah ayat
al-Qur’an mengenai pembagian harta perang tersebut. Yakni 1/5 dari harta
rampasan perang harus dibagi kedalam enam macam, yaitu : Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn sabil. Kemudian selebihnya
diberikan pada tentara yang ikut berperang.
Lalu terdapat tanah-tanah hasil rampasan yang oleh
Sa’ad bin Abi waqash ingin segera dibagikan dengan mengirim surat kepada Umar
bin Khattab. Namun Umar lebih memilih agar tanah tersebut tetap pada pemiliknya
dan menggarapnya. Setelah itu hasilnya akan digunakan untuk kesejahteraan kaum
muslim. Hal ini dikarenakan menurut pertimbangan yang matang karena
dikhawtirkan jika tanah tersebut dibagikan diperlukan waktu dan tenaga untuk
menggarapnya.
c. Berkaitan
dengan hukum potong tangan bagi pencuri
Pada saat itu ada seorang pencuri yang dibebaskan
dari hukuman potong tangan dikarenakan pada saat terjadinya pencurian itu pada
masa paceklik dan musim kelaparan. Jadi diperkirakan pencuri tersebut mencuri
bukan karena didorong oleh kejahatannya, namun karena kebutuhan yang mendesak.[4]
3.
Ijtihad Usman bin Affan
a.
Pembukuan al-Qur’an dalam “satu bentuk
rasm yang mencakup tujuh huruf”.
Hal ini
dikarenakan pada saat itu perkembangan al-Qur’an yang ditulis dengan tujuh
huruf bentuk tulisan. Mereka bertikai karena masing-masing merasa paling benar
dan saling mengkafirkan. Lalu akhirnya Usman memutuskan untuk membukukan
al-Qur’an dalam satu bentuk rasm yang mencakup tujuh huruf.
b. Berkaitan
dengan penangkapan unta yang berkeliaran
Pada masa Rasulullah unta-unta yang berkeliaran
tesesesat dari pemiliknya dilarang untuk ditangkap. Namun pada masa Usman ia
memerintahkan agar unta-unta itu ditangkap dan diamankan di tempat-tempat umun
(untuk membeitahu siapa pemiliknya), jika tidak ditemukan pemiliknya kemudian
dijualnya. Apabila pemiliknya datang, diberikanlah hasil dari penjualan
tersebut.[5]
4. Ijtihad
Ali bin Abbi Thalib
Ijtihad
yang dilakukan oleh Ali bin Abi tholib adalah merubah dera untuk peminum
khamr yang semula 40 kali dilipatgandakan menjadi 80 kali yang sudah disebutkan
dalam sebuah hadist
أن النبي صلعم أتي برجل قدشرب الخمر، فجلد بجر يدين، نحوأربعين. قا ل
: وفعله ابوبكر، فلماكان عمراستشارالناس، فقال عبدالرحمن بن عوف أخف الحدودثمانين،
فأمربه عمر.
“KepadaNabidihadapkanseorangLaki-laki
yang telahmeminum arak.Nabimencambuknyadenganpelepahkurmasebanyakempatpuluhkali
.Anasberkata : Abu bakarberbuat yang sama. Tatkala Umar menjadikhalifah, Umar
bermusyawarahdengsnparasahabat ,maka Abdurrahman ibn ‘Auf berkata : Hukuman had
yang paling rendah, sebanyakdelapanpuluh kali.
MakaUmarpunmenetapkancambukansebanyakdelapanpuluh kali.” (HR. Ahmad, Muslim,
Abu Dauddan at-Turmudzi ; Al- Mintaqa 2:726)
Dengan pertimbangan karena orang yang minum-minuman
keras akan putus akalnya kemudian akan menyebabkan kejahatan yang lain yang
lebih serius.[6]
B. PengertianIjtihad Jama’i dan Fardi
Menurut
jumlah mujahidnya, Ijtihad terbagi menjadi dua kategoori yaitu Ijtihad Jama’i dan
Ijtihad Fardi. Ijtihadjama’iadalahijtihad yang dilakukan
bersama-sama oleh banyak ahli tentang satu persoalan hukum tertentu.SedangkanijtihadFardiadalah
ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid saja.[7]Lebihlanjutakankitabahassatupersatu.
a.
Definisi Ijtihad Jama’i
Kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Muslim dewasa ini,
ijtihad tidak boleh dilakukan secara parsial tetapi hendaknya ijtihad dilakukan
dengan komprehensif dengan melihatkan pakar dalam ilmu pengetahuan yang
terkait. Menurut Yusuf Qardhawi ada dua
metode yang tepat dan cocok digunakan dalam menghadapi era globalisasi ini,
yaitu pertama, ijtihad intiqa’i (tarjih) dengan mengambil pendapat
terkuat para ulama’ terdahulu kemudian meneyeleksi yang paling kuat dalilnya
dan lebih relevan dengan keadaan sekarang. Kedua, ijtihad insya’i,pengambilan kesimpulan baru dari
persoalan dan belum pernah dikemukakan oleh ulama’ terdahulu. Sehubungan dengan
ijtihad insya’i ini, agar pelaksanaannya efektif dan menghasilkan suatu hukum
yang dapat menyelesaikan permasalahan maka perlu digalakkan ijtihad
kolektif (jama’i), karena dengan permasalahan yang kompleks serta dengan keterbatasan
ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang sehingga dalam menghadapi persoalan
harus melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait. Apabila ijtihad fardhi dilaksanakan dalam melaksanakan ijtihad insya’i terhadap suatu kasus yang baru
kemungkinan ijtihad yang dilakukan akan terdapat kekeliruan dan tidak
mendapatkan hasil yang diharapkan.
Menurut asy-Syarafi, ijtihad kolektif sebuah upaya optimal dari mayoritas
ahli fiqih untuk sampai pada sebuah hipotesa terhadap hukum syariat dengan cara
menyimpulkan dan telah mencapai kesepakatan bersama atau mayoritas dari mereka
semua setelah mengadakan tukar pendapat untuk menentukan suatu hukum. Tujuannya
adalah untuk meneliti berbagai problematika modernitas dan berbagai hal yang
dibutuhkan umat, sehingga mereka sepakat terhadap hal-hal yang dipandang dapat
menghasilkan kemaslahatan.
Dengan demikian, jelaslah ijtihad kolektif yang tercermin dalam bentuk
musyawarah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam upaya pembinaan dan
pelestarian hukum Islam, dengan berupaya mengantisipasi segala permasalahan
secara bersama-sama, terutama dalam mengahadapi kasus-kasus besar dalam dunia
ekonomi, politik, dan kedokteran melalui pelibatan spesialis atau expert disiplin ilmu lain yang dibutuhkan
dengan permasalahan yang dihadapi, sehingga hasilnya akan lebih valid,
kredibel, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Namun
demikian, penggunaan ilmu bantu yang diperlukan itu harus ada batasan, yang
memerlukan kajian serius untuk membuat standar dan sekaligus formulasi
penggunaan ilmu dalam prosedur ijtihad itu, agar tidak menimbulkan dampak
negatif yang kontraproduktif.
Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus pencangkokan jaringan atau organ
tubuh manusia. Guna menetapkan hukumnya, perlu didengar lebih dahulu pendapat
ahli dalam bidang kedokteran, khususnya ahli bedah. Darinya akan diperoleh
informasi mengenai cara dan mekanisme pencangkokan organ tubuh itu. Setelah
diketahui secara jelas, baru dibahas perihal pencangkokan itu dari berbagai
disiplin ilmu agama Islam, untuk kemudian diambil kesimpulan hukumnya. Contoh
yang lain masalah KB yang berkaitan erat dengan kependudukan, ilmu ekonomi,
ilmu jiwa, ilmu yang berkaitan dengan IT dan tentunya ilmunya keagamaan.
b.
Syarat-syarat Ijtihad jama’i
Sebagaimana konsep ijtihad yang telah ada, begitu juga dengan ijtihad
kolektif yang mana di dalamnya juga diatur tentang syarat-syarat yang harus
dipenuhi. Para mujtahid yang ada dalam ijtihad kolektif juga harus memenuhi
persyaratan yang ada dalam mujtahid, seperti Islam, taklif, adil, memahami
al-Qur’an dan sunah, memahami bahasa Arab, memahami ushul fiqh, memahami esensi
tujuan syari’at, memahami masalah yang sudah jadi ijma’ dan memahami situasi
masanya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Abdul Wahab Kholaf bahwa ijtihad
yang didasarkan pada pendapat satu kelompok tidak akan diterima, kecuali bila
setiap anggota kelompok itu telah memenuhi syarat-syarat dan kapasitas
profesionalisme ijtihad.
Namun ada hal-hal lain yang ada dalam ijtihad kolektif, anggota
lembaga ijtihad kolektif cukup seorang mujtahid juz’i, bukan seorang mujtahid mutlaq. Mujtahid mutlaq adalah orang yang
mampu melakukan ijtihad dalam seluruh bab fikih dan berbagai permasalahannya.
Sedangkan mujtahid juz’i yaitu orang yang memiliki cukup ilmu yang membuatnya
mampu untuk melakukan ijtihad dalam sebagian cabang ilmu saja namun tidak pada
sebagian yang lain. Salah satu alasan mendesaknya kebutuhan terhadap ijtihad
kolektif yang membolehkan hanya dengan mujtahid juz’i adalah karena ijtihad ini
adalah karena ijtihad ini berposisi menggantikan peran mujtahid mutlak yang
untuk masa sekarang sulit ditemukan.
Mengenai metodologi ijtihad kolektif, kita bisa melihat setiap hasil
ijtihad yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga ijtihad, karena setiap lembaga
memiliki metode yang berbeda-beda. Misalnya saja dalam menetapkan tanggal 1
Syawal, lembaga Tarjih milik Organisasi Muhammadiyah menegaskan bahwa datangnya
awal bulan bukan hanya dengan rukyat, tetapi juga dengan hisab dan hisab bisa
berdiri sendiri dalam menentukan bulan Qamariyah. Sedangkan Bahtsul Masail
menggunakan metode rukyatul hilal bil fi’li, dengan melihat hilal secara
langsung dan bila berawan atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka
tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan
(istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari, hisab hanya sebagai alat bantu,
bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Qamariyah. Dan lembaga MUI yang berada di bawah naungan
pemerintah menggunakan metode imkanur ru’yah yang tergabung dengan lembaga
MABIMS.[8]
c. Ijtihad Fardhi
Ijtihad fardhi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya
beberapa mujtahid. Misalnya ijtihad yang dilakukan oleh para imam mujtahid
besar, seperti Imam Abu Hanifah , Imam Malik, Imam syafi’i dan Imam ahmad bin
Hambal. Orang yang hendak melakukan ijtihad ini harus memiliki kemampuan di
bebrbagai cabang Ilmu pengetahuan, jadi di zaman sekarang ini sangat ajarang
bahkan cenderung tidaka adsa lagi yang memakai metode ijtihad fafdhi. Karena
akan lebih memudahkan bila memecahkan masalah jika dilakukan secara kolektif.Dan
jarang sekali orang yang menguasai berbagai disiplin ilmu.
d. Syarat-syarat
Ijtihad fardhi
Oerang yang berijtihad fardhi haruslah
orang yang menguasai disemua bidang. Serta tidak keluar dari esensi yang sudah
ada di al-Qur’an dan hadis
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
fatwa
secara literal bermakna jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau
perundang-undangan yang sulit. Sedangkan menurut syariat bermakna penjelasan
hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang
didukung oleh dalil yang berasal dari al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad.
Setelah Nabi Muhammad meninggal dunia,
berakhirlah periode turunnya wahyu dan muncul periode sahabat. Namun pada
periode sahabat, keadaan sudah berbeda dengan masa sebelumnya, terutama karena
melebarnya wilayah dunia Islam, maka permasalahanpun semakin kompleks.
1. Ijtihad
Abu bakar as-shidiq
Salah satu ijtihad yang dilakukan Abu bakar adalah memerangi
orang yang tidak mau bayar zakat namun
2. Ijtihad
Umar bin Khattab
a. Tidak
diberikannya zakat pada muallaf
b. Berkaitan
dengan tanah rampasan perang
3. Ijtihad
Usman bin Affan
a. Pembukuan
al-Qur’an dalam “satu bentuk rasm yang mencakup tujuh huruf”.
b. Berkaitan
dengan penangkapan unta yang berkeliaran
4. Ijtihad
Ali bin Abbi Thalib
Ijtihad yang dilakukan oleh Ali bin Abi tholib
adalah merubah dera untuk peminum khamr yang semula 40 kali
dilipatgandakan menjadi 80 kali.
Menurut
jumlah mujahidnya, Ijtihad terbagi menjadi dua kategoori yaitu Ijtihad Jama’i
dan Ijtihad Fardi. Ijtihadjama’iadalahijtihad yang dilakukan
bersama-sama oleh banyak ahli tentang satu persoalan hukum tertentu.SedangkanijtihadFardiadalah
ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid saja
B.
Penutup
Demikian makalah yang dapat kami buat.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun jauh dari sempurna dan juga masih
banyak kesalahan untuk itu kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca agar dalam pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.Mardani, Ushul fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2013, hlm 373-377
Drs. Sapiudin Shidiq,
M.A, Ushul fiqh, Jakarta : Kencana,
2011, hlm 159
Drs. Shobirin, M.Ag, Ijihad Khulafa’ al-rasyidin, Semarang : RaSAIL Media Group 2008 hlm
139-144
[1]
Dr.Mardani, Ushul fiqh, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2013, hlm 373-377
[2]
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul fiqh, Jakarta
: Kencana, 2011, hlm 159
[3]
Drs. Shobirin, M.Ag, Ijihad Khulafa’
al-rasyidin, Semarang : RaSAIL Media Group 2008 hlm 139-144
[4]
Drs. Shobirin, M.Ag, Ijihad Khulafa’
al-rasyidin, Semarang : RaSAIL Media Group 2008 hlm 149-155
[5][5]
Drs. Shobirin, M.Ag, Ijihad Khulafa’
al-rasyidin, Semarang : RaSAIL Media Group 2008 hlm 187-190
[6][6]
Drs. Shobirin, M.Ag, Ijihad Khulafa’
al-rasyidin, Semarang : RaSAIL Media Group 2008 hlm 196-198
0 komentar:
Posting Komentar