RSS
Facebook
Twitter

Minggu, 13 September 2015

FATWA SAHABAT SEBAGAI METODE ISTINBAT HUKUM ISLAM
Makalah
Untuk Memenuhi Tugas : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Amin Farih





Oleh :
Nayiroh                       (133411058)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam kitab Mafaahim Islamiyah diterangkan bahwa fatwa secara literal bermakna jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-undangan yang sulit. Sedangkan menurut syariat bermakna penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad. Sedangkan orang yang menyampaikan fatwa disebut Al-Muftiy.
Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Fatwa dipandang sebagaialternatif di tengah kebekuan dalam perkembangan hukum Islam dan sebagai alternatif untuk menjawab perkembangan zaman yang tidak tercover dengan nash-nash keagamaan. Karena nash-nash keagamaan telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi secara faktual permasalah dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Namun demikian, fatwa yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan esensi dari hukum yang telah ada dalam nash-nash tersebut.[1]
Sedangkan istinbat secara istilah sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad bin Ali al-Fayumi yaitu upaya menarik hukum dari al-Qur’an dan sunnah dengan jalan ijtihad[2]Hal itulah yang menyebabkan banyak dari sahabat yeng mengeluarkan fatwa untuk mencari pemecahan permasalahan yang tidak terdapati dalam nash-nash. Hal ini diperkuat lagi setelah meninggalnya Rasulullah SAW, tidak terkecuali para khulafa’ ar-rasyidin yang kedudukannya sebagai pemimpin pengganti Rasulullah.

B. RumusanMasalah
1. Apasajahasilijtihadkhulafaurrasyidin?
2. Bagaimana perbandinganijtihadjama’idanijtihadfardi?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    IjtihadKhulafa’ ar- rasyidin
Setelah Nabi Muhammad meninggal dunia, berakhirlah periode turunnya wahyu dan muncul periode sahabat. Namun pada periode sahabat, keadaan sudah berbeda dengan masa sebelumnya, terutama karena melebarnya wilayah dunia Islam, makapermasalahanpun semakin kompleks.
Para sahabat khususnya khulafa’ al-rasyidin harus menggerakkan pemikirannya untuk menetapkan hukum yang belum dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunnah secara terinci. Maka dari itu muncul banyak ijtihad dari Khulafa’ al-rasyidin untuk menentukan hukum-hukum baru yang tidak bertentangan dengan dua sumber hukum tersebut. Sebuah hadis dari Muaz bin Jabal berikut juga mendukung dilaksanakannya ijtihad
ان رسول الله صلعم لما ارادان يبعثه الي اليمين قال له كيف تقضي اذاعرض لك قضاء. قال أقضي بكتاب الله فأن لم أجد فبسنة رسول الله فأنلم اجد أجتهد رأيي ولاألوا. فضرب رسول الله علي صدره وقال الحمد لله الذي وقف رسو ل الله
“Ketika hendak menuju negeri Yaman berkata kepadanya. Bagaimanakah kamu memberi keputusan apabila kepadamu dimintakan suatu putusan. Muaz menjawab  : “saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah , jika saya tidak menemukannya maka saya akan memutuskan berdasarkan sunnah Rasul, kemudian jika saya tidak menemukannya maka saya akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasullah menepuk-nepuk dadanya dan berkata “ Segala puji adalah bagi Allah yang telah memberikan Taufiq kepada utusan Rasulullah kepada apa yang diridhai oleh Rasulullah.”:
 Berikut beberapa ijtihad pada masa khulafa’ al-rasyidin.
1.        Ijtihad Abu bakar as-shidiq
Salah satu ijtihad yang dilakukan Abu bakar adalah memerangi orang yang tidak mau bayar zakat namun hal ini sempat ditegur oleh Umar bin Khathab. Namun abu bakar bersikeras karena hal tersebut sebab hal itu telah ada dalam hadis nabi dan beliau beranggapan jika Ia berkompromi dengan hal tersebut maka akan ada peluang untung kompromi dengan permassalahan yang lain.[3]
2.        Ijtihad Umar bin Khattab
a.    Tidak diberikannya zakat pada muallaf
Menurutnya pemberian zakat kepada muallaf tersebut pada dasarnya ada tujuan yang terselinp dibelakangnya, yaitu agar merek berubah dan masuk Islam dan untuk menolak kemungkinan datangnya kejahatan dari mereka. Oleh sebab itulah diwaktu kondisi umat Islam telah kuat dan stabilitas pemerintahan sudah semakin mantap Umar berpendapat bahwa pemberian zakat tersebut sudah tidak valid lagi.
b.    Berkaitan dengan tanah rampasan perang
Pada saat terjadinya perang Badar, kaum muslimin mengalami kemenangan. Harta rampasan perang sangat banyak. Maka timbul kebingungan untuk membaginya. Lalu setelah terjadi kebingungan turunlah ayat al-Qur’an mengenai pembagian harta perang tersebut. Yakni 1/5 dari harta rampasan perang harus dibagi kedalam enam macam, yaitu : Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn sabil. Kemudian selebihnya diberikan pada tentara yang ikut berperang.
Lalu terdapat tanah-tanah hasil rampasan yang oleh Sa’ad bin Abi waqash ingin segera dibagikan dengan mengirim surat kepada Umar bin Khattab. Namun Umar lebih memilih agar tanah tersebut tetap pada pemiliknya dan menggarapnya. Setelah itu hasilnya akan digunakan untuk kesejahteraan kaum muslim. Hal ini dikarenakan menurut pertimbangan yang matang karena dikhawtirkan jika tanah tersebut dibagikan diperlukan waktu dan tenaga untuk menggarapnya.
c.    Berkaitan dengan hukum potong tangan bagi pencuri
Pada saat itu ada seorang pencuri yang dibebaskan dari hukuman potong tangan dikarenakan pada saat terjadinya pencurian itu pada masa paceklik dan musim kelaparan. Jadi diperkirakan pencuri tersebut mencuri bukan karena didorong oleh kejahatannya, namun karena kebutuhan yang mendesak.[4]
3.        Ijtihad Usman bin Affan
a.       Pembukuan al-Qur’an dalam “satu bentuk rasm yang mencakup tujuh huruf”.
Hal ini dikarenakan pada saat itu perkembangan al-Qur’an yang ditulis dengan tujuh huruf bentuk tulisan. Mereka bertikai karena masing-masing merasa paling benar dan saling mengkafirkan. Lalu akhirnya Usman memutuskan untuk membukukan al-Qur’an dalam satu bentuk rasm yang mencakup tujuh huruf.
b.      Berkaitan dengan penangkapan unta yang berkeliaran
Pada masa Rasulullah unta-unta yang berkeliaran tesesesat dari pemiliknya dilarang untuk ditangkap. Namun pada masa Usman ia memerintahkan agar unta-unta itu ditangkap dan diamankan di tempat-tempat umun (untuk membeitahu siapa pemiliknya), jika tidak ditemukan pemiliknya kemudian dijualnya. Apabila pemiliknya datang, diberikanlah hasil dari penjualan tersebut.[5]
4.      Ijtihad Ali bin Abbi Thalib
Ijtihad yang dilakukan oleh Ali bin Abi tholib adalah merubah dera untuk peminum khamr yang semula 40 kali dilipatgandakan menjadi 80 kali yang sudah disebutkan dalam sebuah hadist
أن النبي صلعم أتي برجل قدشرب الخمر، فجلد بجر يدين، نحوأربعين. قا ل : وفعله ابوبكر، فلماكان عمراستشارالناس، فقال عبدالرحمن بن عوف أخف الحدودثمانين، فأمربه عمر.
“KepadaNabidihadapkanseorangLaki-laki yang telahmeminum arak.Nabimencambuknyadenganpelepahkurmasebanyakempatpuluhkali .Anasberkata : Abu bakarberbuat yang sama. Tatkala Umar menjadikhalifah, Umar bermusyawarahdengsnparasahabat ,maka Abdurrahman ibn ‘Auf berkata : Hukuman had yang paling rendah, sebanyakdelapanpuluh kali. MakaUmarpunmenetapkancambukansebanyakdelapanpuluh kali.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dauddan at-Turmudzi ; Al- Mintaqa 2:726)
Dengan pertimbangan karena orang yang minum-minuman keras akan putus akalnya kemudian akan menyebabkan kejahatan yang lain yang lebih serius.[6]

B.     PengertianIjtihad Jama’i dan Fardi
Menurut jumlah mujahidnya, Ijtihad terbagi menjadi dua kategoori yaitu Ijtihad Jama’i dan Ijtihad Fardi. Ijtihadjama’iadalahijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh banyak ahli tentang satu persoalan hukum tertentu.SedangkanijtihadFardiadalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid saja.[7]Lebihlanjutakankitabahassatupersatu.
a.       Definisi Ijtihad Jama’i
Kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Muslim dewasa ini, ijtihad tidak boleh dilakukan secara parsial tetapi hendaknya ijtihad dilakukan dengan komprehensif dengan melihatkan pakar dalam ilmu pengetahuan yang terkait.  Menurut Yusuf Qardhawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan dalam menghadapi era globalisasi ini, yaitu pertama, ijtihad intiqa’i (tarjih) dengan mengambil pendapat terkuat para ulama’ terdahulu kemudian meneyeleksi yang paling kuat dalilnya dan lebih relevan dengan keadaan sekarang. Kedua, ijtihad insya’i,pengambilan kesimpulan baru dari persoalan dan belum pernah dikemukakan oleh ulama’ terdahulu. Sehubungan dengan ijtihad insya’i ini, agar pelaksanaannya efektif dan menghasilkan suatu hukum yang dapat menyelesaikan permasalahan  maka perlu digalakkan ijtihad kolektif (jama’i), karena dengan permasalahan yang kompleks serta dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang sehingga dalam menghadapi persoalan harus melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait. Apabila ijtihad fardhi dilaksanakan dalam melaksanakan ijtihad insya’i terhadap suatu kasus yang baru kemungkinan ijtihad yang dilakukan akan terdapat kekeliruan dan tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.
Menurut asy-Syarafi, ijtihad kolektif sebuah upaya optimal dari mayoritas ahli fiqih untuk sampai pada sebuah hipotesa terhadap hukum syariat dengan cara menyimpulkan dan telah mencapai kesepakatan bersama atau mayoritas dari mereka semua setelah mengadakan tukar pendapat untuk menentukan suatu hukum. Tujuannya adalah untuk meneliti berbagai problematika modernitas dan berbagai hal yang dibutuhkan umat, sehingga mereka sepakat terhadap hal-hal yang dipandang dapat menghasilkan kemaslahatan.
Dengan demikian, jelaslah ijtihad kolektif yang tercermin dalam bentuk musyawarah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam upaya pembinaan dan pelestarian hukum Islam, dengan berupaya mengantisipasi segala permasalahan secara bersama-sama, terutama dalam mengahadapi kasus-kasus besar dalam dunia ekonomi, politik, dan kedokteran melalui pelibatan spesialis atau expert disiplin ilmu lain yang dibutuhkan dengan permasalahan yang dihadapi, sehingga hasilnya akan lebih valid, kredibel, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Namun demikian, penggunaan ilmu bantu yang diperlukan itu harus ada batasan, yang memerlukan kajian serius untuk membuat standar dan sekaligus formulasi penggunaan ilmu dalam prosedur ijtihad itu, agar tidak menimbulkan dampak negatif yang kontraproduktif.
Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus pencangkokan jaringan atau organ tubuh manusia. Guna menetapkan hukumnya, perlu didengar lebih dahulu pendapat ahli dalam bidang kedokteran, khususnya ahli bedah. Darinya akan diperoleh informasi mengenai cara dan mekanisme pencangkokan organ tubuh itu. Setelah diketahui secara jelas, baru dibahas perihal pencangkokan itu dari berbagai disiplin ilmu agama Islam, untuk kemudian diambil kesimpulan hukumnya. Contoh yang lain masalah KB yang berkaitan erat dengan kependudukan, ilmu ekonomi, ilmu jiwa, ilmu yang berkaitan dengan IT dan tentunya ilmunya keagamaan.
b.      Syarat-syarat Ijtihad jama’i
Sebagaimana konsep ijtihad yang telah ada, begitu juga dengan ijtihad kolektif yang mana di dalamnya juga diatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi. Para mujtahid yang ada dalam ijtihad kolektif juga harus memenuhi persyaratan yang ada dalam mujtahid, seperti Islam, taklif, adil, memahami al-Qur’an dan sunah, memahami bahasa Arab, memahami ushul fiqh, memahami esensi tujuan syari’at, memahami masalah yang sudah jadi ijma’ dan memahami situasi masanya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Abdul Wahab Kholaf bahwa ijtihad yang didasarkan pada pendapat satu kelompok tidak akan diterima, kecuali bila setiap anggota kelompok itu telah memenuhi syarat-syarat dan kapasitas profesionalisme ijtihad.
Namun ada hal-hal lain yang ada dalam ijtihad kolektif,  anggota lembaga ijtihad kolektif cukup seorang mujtahid juz’i, bukan seorang mujtahid mutlaq. Mujtahid mutlaq adalah orang yang mampu melakukan ijtihad dalam seluruh bab fikih dan berbagai permasalahannya. Sedangkan mujtahid juz’i yaitu orang yang memiliki cukup ilmu yang membuatnya mampu untuk melakukan ijtihad dalam sebagian cabang ilmu saja namun tidak pada sebagian yang lain. Salah satu alasan mendesaknya kebutuhan terhadap ijtihad kolektif yang membolehkan hanya dengan mujtahid juz’i adalah karena ijtihad ini adalah karena ijtihad ini berposisi menggantikan peran mujtahid mutlak yang untuk masa sekarang sulit ditemukan.
Mengenai metodologi ijtihad kolektif, kita bisa melihat setiap hasil ijtihad yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga ijtihad, karena setiap lembaga memiliki metode yang berbeda-beda. Misalnya saja dalam menetapkan tanggal 1 Syawal, lembaga Tarjih milik Organisasi Muhammadiyah menegaskan bahwa datangnya awal bulan bukan hanya dengan rukyat, tetapi juga dengan hisab dan hisab bisa berdiri sendiri dalam menentukan bulan Qamariyah. Sedangkan Bahtsul Masail menggunakan metode rukyatul hilal bil fi’li, dengan melihat hilal secara langsung dan bila berawan atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari, hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Qamariyah.  Dan lembaga MUI yang berada di bawah naungan pemerintah menggunakan metode imkanur ru’yah yang tergabung dengan lembaga MABIMS.[8]
c.       Ijtihad Fardhi
Ijtihad fardhi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa mujtahid. Misalnya ijtihad yang dilakukan oleh para imam mujtahid besar, seperti Imam Abu Hanifah , Imam Malik, Imam syafi’i dan Imam ahmad bin Hambal. Orang yang hendak melakukan ijtihad ini harus memiliki kemampuan di bebrbagai cabang Ilmu pengetahuan, jadi di zaman sekarang ini sangat ajarang bahkan cenderung tidaka adsa lagi yang memakai metode ijtihad fafdhi. Karena akan lebih memudahkan bila memecahkan masalah jika dilakukan secara kolektif.Dan jarang sekali orang yang menguasai berbagai disiplin ilmu.
d.      Syarat-syarat Ijtihad fardhi
Oerang yang berijtihad fardhi haruslah orang yang menguasai disemua bidang. Serta tidak keluar dari esensi yang sudah ada di al-Qur’an dan hadis











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
fatwa secara literal bermakna jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-undangan yang sulit. Sedangkan menurut syariat bermakna penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad.
Setelah Nabi Muhammad meninggal dunia, berakhirlah periode turunnya wahyu dan muncul periode sahabat. Namun pada periode sahabat, keadaan sudah berbeda dengan masa sebelumnya, terutama karena melebarnya wilayah dunia Islam, maka permasalahanpun semakin kompleks.
1.      Ijtihad Abu bakar as-shidiq
Salah satu ijtihad yang dilakukan Abu bakar adalah memerangi orang yang tidak mau bayar zakat namun
2.      Ijtihad Umar bin Khattab
a.       Tidak diberikannya zakat pada muallaf
b.      Berkaitan dengan tanah rampasan perang
3.      Ijtihad Usman bin Affan
a.       Pembukuan al-Qur’an dalam “satu bentuk rasm yang mencakup tujuh huruf”.
b.      Berkaitan dengan penangkapan unta yang berkeliaran
4.      Ijtihad Ali bin Abbi Thalib
Ijtihad yang dilakukan oleh Ali bin Abi tholib adalah merubah dera untuk peminum khamr yang semula 40 kali dilipatgandakan menjadi 80 kali.
Menurut jumlah mujahidnya, Ijtihad terbagi menjadi dua kategoori yaitu Ijtihad Jama’i dan Ijtihad Fardi. Ijtihadjama’iadalahijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh banyak ahli tentang satu persoalan hukum tertentu.SedangkanijtihadFardiadalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid saja



B.     Penutup
Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun jauh dari sempurna dan juga masih banyak kesalahan untuk itu kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar dalam pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita. Amin.
































DAFTAR PUSTAKA


Dr.Mardani, Ushul fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013, hlm 373-377
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul fiqh, Jakarta : Kencana, 2011, hlm 159
Drs. Shobirin, M.Ag, Ijihad Khulafa’ al-rasyidin, Semarang : RaSAIL Media Group 2008 hlm 139-144
http://juwartin.wordpress.com/. DiaksespadahariRabu 11-5-2014.Pukul 8.30 WIB
http://anindiia.wordpress.com/2012/06/07/ijtihad/. DiaksespadaRabu 11-5-2014.Pukul 08.13 WIB





[1] Dr.Mardani, Ushul fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013, hlm 373-377
[2] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul fiqh, Jakarta : Kencana, 2011, hlm 159
[3] Drs. Shobirin, M.Ag, Ijihad Khulafa’ al-rasyidin, Semarang : RaSAIL Media Group 2008 hlm 139-144
[4] Drs. Shobirin, M.Ag, Ijihad Khulafa’ al-rasyidin, Semarang : RaSAIL Media Group 2008 hlm 149-155
[5][5] Drs. Shobirin, M.Ag, Ijihad Khulafa’ al-rasyidin, Semarang : RaSAIL Media Group 2008 hlm 187-190
[6][6] Drs. Shobirin, M.Ag, Ijihad Khulafa’ al-rasyidin, Semarang : RaSAIL Media Group 2008 hlm 196-198
[7]http://anindiia.wordpress.com/2012/06/07/ijtihad/. DiaksespadaRabu 11-5-2014.Pukul 08.13 WIB
[8]http://juwartin.wordpress.com/. DiaksespadahariRabu 11-5-2014.Pukul 8.30 WIB

0 komentar:

Posting Komentar

  • Blogger news

  • Blogroll

  • About