RSS
Facebook
Twitter

Minggu, 13 September 2015

FUNGSI HADIS

I.                   Pendahuluan
Hadis menurut etimologi berarti baru, sedangkan menurut terminologi para ulama mendefinisikan dengan rumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Namun dari semua itu memiliki inti yang sama  yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya, sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
Mayoritas ulama dari kalangan umat islam, baik yang tergolong ulama salaf maupun ulama khalaf dari masa sahabat hingga sekarang ini, telah sepakat bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-qur’an. Al-qur’an dan hadis merupakan sumber hukum syari’at yang tetap, artinya orang Islam tidak mungkin memahami syari’at Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber hukum tersebut.
Dari penjelasan diatas, hadis memiliki beberapa fungsi dalam ajaran Islam.

II.                Rumusan Masalah
1.      Apa saja fungsi hadits dalam ajaran islam?
2.       Bagaimana pendapat para ulama’ tentang fungsi hadits?
III.             Pembahasan
A.    Fungsi Hadis dalam Ajaran Islam
Al-qur’an dan hadis digunakan untuk pedoman hidup, sumber hukum, dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama, banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu, kehadiran hadis sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-qur’an tersebut.
Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas Al-qur’an itu bermacam-macam. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan diuraikan satu persatu.
1.    Bayan at-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-qur’an. Artinya bahwa sunnah dalam hal ini lebih berfungsi sebagai pengokoh dan memperkuat isi kandungan Al-qur’an yang telah ada.[1]
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh hadits yang di riwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi :
فإذا رأيتم الهلال فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا ( رواه مسلم )
Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah. (HR. Muslim)
Hadits ini mentaqrir (menetapkan) ayat al-Quran Surah. Al-Baqoroh : 185 yang berbunyi :
 فَمَن شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه
Maka barangsiapa yang mempersaksikan  pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...
Karena ayat al-quran dan hadist diatas mempunyai makna yang sama maka hadist tersebut berfungsi sebagai bayan taqrir, mempertegas apa yang telah disebut dalam al-quran.[2]
2.    Bayan al-Tafsir
Bayan al-tafsir adalah bahwa hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlaq, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Diantara contoh tentang ayat-ayat al-qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan sholat. Banyak sekali ayat-ayat terkait perintah kewajiban sholat dalam al-Quran. Salah satunya sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Baqoroh ayat : 43
واقيموا الصلاة واتوا الزكاة واركعوا مع الرا كعين
dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.
Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban sholat tetapi tidak dirinci atau dijelaskan bagaimana operasionalnya, berapa rokaatnya, serta apa yang harus dibaca dalam setiap gerakan sholat. Kemudian Rasulullah memperagakan bagaimana mendirikan sholat yang baik dan benar. Hingga beliau bersabda,
صلوا كما رايتموني اصلي(رواه البخاري)
Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR.Bukhori.)
Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak adalah seperti sabda rasullullah,
 أتي رسول الله صلى الله عليه و سلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف
Rasullullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.
Hadits ini men-taqyid  QS.Almaidah : 58 yang berbunyi :
والسارق و السارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالامن الله و الله عزيز حكيم
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan, dan sebagai siksaan dari Allah sesungguhnya Allah maha Mulia dan Maha Bijaksana.
Dalam ayat diatas belum ditentukan batasan untuk memotong tangannya. Bisa jadi dipotong sampai pergelangan tangan saja, atau sampai siku-siku, atau bahkan dipotong hingga pangkal lengan karena semuanya itu termasuk dalam kategori tangan.  Akan tetapi, dari hadist nabi tersebut, kita dapat mengetahui ketetapan hukumnya secara pasti yaitu memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.
Sedangkan contoh hadits yang berfungsi untuk mentakhshish keumuman ayat-ayat al-Quran, adalah :
قال النبي صلى الله عليه و سلم لا يرث المسلم الكافر و لا الكافر المسلم ( رواه البخارى ) Nabi SAW bersabda : “tidaklah seorang muslim mewarisi dari orang kafir , begitu juga kafir tidak mewarisi dari orang muslim.
Hadits tersebut mentakhshish keumuman ayat :
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين ( النساء : 11 )
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian anak perempuan. (QS. An- Nisa : 11)[3]
3.      Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-qur’an atau dalam Al-qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Hadis-hadis Rasul SAW yang termasuk kedalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, hadis tentang zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.
Seperti contoh berikut:
أن الرسول الله صلى الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين  (رواه المسلم )
Bahwasahnya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitroh kepada umat islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuam muslim.
(HR. Muslim).[4]
4.    Bayan an-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa, mempunyai banyak arti. Bisa berarti al-Ibthal (membatalkan/menghapuskan), atau al-izalah (menghilangkan), atau an-naql (penukilan/penyalinan), atau at-taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipegang dari ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena ada dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan Syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).
Intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh.
Contoh hadist yang berfungsi sebagai bayan al-naskh :
لا وصية لوارث
Tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Hadist ini menaskh firman Allah :
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين و الأقربين بالمعروف حقا على المتقين (البقرة : 180)
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqoroh : 180).[5]
B.     Perbedaan Pendapat Para Ulama tentang Fungsi Hadits
Sehubungan dengan fungsi hadist sebagai bayan tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam merincinya lebih lanjut.
1.      Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil, bayan Isbat, dan bayan tasyri’.
2.      Menurut Imam Syafi’i, yaitu meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin, bayan tasyri’, bayan nasakh, bayan tafshil dan bayan isyaroh
3.      Menurut Ahman bin Hanbal yaitu meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan takhsis.
Meskipun para ulama menggunakan istilah yang berbeda, namun pada dasarnyayang mereka maksudkan sama saja. Secara umum fungsinya adalah menguatkan, merinci, menjelaskan, membuat aturan baru dan merevisi aturan al-quran.[6]

IV.             KESIMPULAN
Fungsi hadits sebagai penjelas(bayan) terhadap Al-qur’an mempunyai empat(4) macam, yaitu:
1.      Bayan Al-Taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al-qur’an
2.      Bayan Al-Tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat al-qur’an yang masih bersifat umum.
3.      Bayan At-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Quran , atau dalam al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja
4.      Bayan At-Nasakh yaitu penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang datang kemudian
Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam:
Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil, bayan Isbat, dan bayan tasyri’. Menurut Imam Syafi’i, yaitu meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin, bayan tasyri’, bayan nasakh, bayan tafshil dan bayan isyaroh. Menurut Ahman bin Hanbal yaitu meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan takhsis.


IV.     DAFTAR PUSTAKA
Ulumul Hadits
Syihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur’an, Mizan Pustaka, 2002
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an, PT LKiS Pelangi Aksara, 2002


[7][1] M. Quraisy Syihab,  Membumikan Al-Qur’an,(Jakarta:  Mizan Pustaka, 2002). Hal.192




[1] Mohammad Nor Ichwan. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Semarang : Rasail, 2013), hlm 75-76
[2] http://sri-wiji-lestari.blogspot.com/2013/05/fungsi-hadits-dalam-ajaran-islam.html (diakses pada hari jum’at, 17 Oktober 2014 pukul 15.50)
[3] http://sri-wiji-lestari.blogspot.com/2013/05/fungsi-hadits-dalam-ajaran-islam.html (Diakses pada hari jum’at, 17 Oktober 2014 pukul 16.00)
[4] Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993). Hlm 63-64
[5] Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993). Hlm 65-66
[6] Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadist, Yogyakarta: Grha Guru, 2008 hlm.17

0 komentar:

Posting Komentar

  • Blogger news

  • Blogroll

  • About